Ketika Hawa tidak mencintai Adam
Rakyat
Radio & TV Online
Mati Ketawa Cara Saya
Musik & Film Online
Tentang Cinta
Kamus & Buku Online
Pencerahan
Info Penting
My Songs
My Cerpen
My Novels
My Poems
My Articles
Karya Kawan
About Me
Kutinggalkan Indonesia, negeri indah penuh bajingan itu. Bajingan yang bisa berkamuflase, dalam segala bentuk dan suasana. Terbang menuju negeri baru yang mungkin akan memberikan nasib lebih baik bagiku. Posisiku sudah cukup lumayan di rumah sakit tempat aku bekerja, cukup kalau hanya sekedar menghidupi diriku sendiri, tapi untuk menghidupi keluarga, apalagi untuk menghidupi anak2ku nanti, aku tidak tahu. Setelah kupikir lama dan atas persetujuan keluarga, akhirnya aku berangkat juga. Hanya saja ada torehan luka yang tersayat menjelang saat2 keberangkatanku, tunanganku memutuskan untuk tidak memberikan lagi curahan cintanya kepadaku, jarak yang terlalu jauh katanya, alasan klise yang membuat hatiku hancur, perjuanganku selama ini ternyata sia2, pengorbananku terhadapnya terlempar begitu saja. Tapi aku hanya bisa menangis, sampai kacamataku harus rela basah oleh deritaku. Memalukan mungkin, bagaimana mungkin aku menangis di saat usiaku yang sudah menjelang kepala tiga.
Tertatih2 di negeri baru, aku tidak perduli, hidup kuanggap sebagai permainan judi, kalah dan menang adalah keniscayaan. Kehidupan baruku terisi dengan kerja dan kerja, profesi perawat di sini ternyata tidak semudah di Indonesia, aku harus mengurus orang2 tua yang praktis sudah tidak bisa apa-apa, orang2 tua yang sudah tidak diurus oleh anak2nya,
yang hanya didatangi jika mereka sudah mati, hanya demi mendapatkan beberapa dari peninggalannya yang masih berarti.
Aku pun bisa menabung, penghasilan yang kudapatkan jelas jauh lebih besar daripada yang kudapatkan di Indonesia, tak lupa setiap bulan aku akan mengirim sebagian ke keluargaku dan sebagian lagi aku sumbangkan untuk pembangunan masjid di RW-ku yang setahuku sejak aku masih SMP sudah mulai dilakukan pembangunan dan sampai sekarang belum selesai. Keluargaku begitu bahagia, itu terlihat dari surat2 yang mereka kirimkan, tak lupa juga ada salam dari ketua RW segala, yang sangat berterima kasih telah menyelamatkannya dari coreng moreng cemooh atas tertunda2nya pembangunan masjid itu.
1 tahun berlalu..........................
Queen's Day, Koningin Dag, orang sini bilang. Semua orang keluar dari rumah, merayakan hari kelahiran ratu. Dan hari ini telah tertradisikan menjadi sebuah pasar terbuka di seluruh pelosok negeri, semua barang2 rumah yang sudah jarang dipakai ataupun sudah tidak dipakai akan dipajang di depan rumah atau di pusat2 kota untuk dijual murah, mungkin bisa dibilang hampir gratis. Rumah jompo tempat aku bekerja berinisiatif untuk menghibur para bewoners* dengan apa yang kami bisa. Aku dan para teman2 sekerja pun mulai berunding, ada yang menginginkan pemutaran film, ada yang drama, ada yang ballet, ada yang ingin diadakan sekedar pesta kecil2an, ada pula yang tidak mau mengadakan acara mengingat kami kekurangan orang.
Tapi akhirnya diputuskan untuk membuat dua acara, ballet dan drama. Hampir semua dari kami diharuskan bermain, bahkan Eric satu2nya laki2 di antara kami pun diwajibkan ikut. Untuk ballet dipilih bagian terakhir dari cerita "Romeo and Juliet" yang mengharukan itu, setelah berdebat seru karena sebagian yang lain ingin "Don Quixote", karena kisahnya lebih heroik. Untuk drama kami memutuskan untuk memainkan "The Inspector-General" sebuah drama komedi ala Rusia. Aneh2 saja memang, ternyata Rusia mempunyai permasalahan yang hampir sama dengan bangsaku Indonesia, penuh dengan pejabat yang korup dan sewenang2, berteriak2 seakan komunis**tetapi berjiwa oligark***. Eric membisiku begitu, setelah melihat aku hanya melongo saja, karena aku tidak tahu apa isi drama Rusia itu.
Aku kebagian peran menjadi Juliet, dan setelah beberapa lama berdebat, Janice kebagian peran Romeonya. Sebenarnya peran itu ditugaskan ke Eric, tapi Eric dengan mentah2 menolaknya, selidik punya selidik, ternyata dia seorang gay, yang mungkin jijik jika berciuman dengan lawan jenisnya seperti aku ini. Rumor itu ternyata benar, Eric yang akrab sekali dengan dunia malam itu, sepertinya sudah bosan dengan perempuan dengan segala tetek bengeknya.
Siang itu pertunjukan begitu meriah, kulihat lagi senyum2 bahagia di antara orang2 tua itu, yang biasanya sehari2 cuma bisa memerintah dan teriak2 minta tolong. Dan pertunjukan balletku sebagai Juliet adalah pertunjukan pamungkas, dengan adegan ciuman Romeo kepada Juliet, Janice menciumku dengan lembut, lembut sekali, getaran yang bertransformasi menjadi sensasi indah. Aku kaget campur bingung, ciuman itu terasa sangat lain. Geletarnya merambat ke seluruh tubuh...., aku sampai meneteskan air mata.
Setelah acara selesai, Janice menghampiriku, menanyakan apakah aku baik2 saja, karena melihat aku menangis tadi. Aku bilang baik2 saja, karena aku menangis bukan karena sedih, tapi karena ada sesuatu yang tak terkatakan dalam ciuman tadi. Janice mengundangku datang ke rumahnya malamnya, sekedar untuk masak bersama dan keluar ke pusat kota untuk sekedar cuci mata.
Sudah agak larut ketika kami pulang dari tempat kerja kami, aku dan Janice yang kebetulan tinggal tidak terlalu jauh pulang bersama2. Dingin musim semi masih semilir menebarkan nuansanya, masih membuat bunga2 sedikit malu untuk menawarkan indahnya. Kami berjalan agak bergegas, diantara gedung2 kuno dan museum yang memang menjadi ciri khas kota yang aku tinggali. Janice berjalan sambil menggenggam tanganku, dingin yang tadi aku rasakan, berubah menjadi hambar atau mungkin netral, aku tidak tahu. Yang pasti aku seperti cawan anggur yang telah kehilangan isinya, berisi partikel2 udara dan siap dimasuki oleh tuangan selanjutnya.
Sekitar jam 7 malam, aku ke dapur untuk memasak. Tak lama kemudian Janice pun datang, dia sudah berpakaian rapi, agak lain dari biasanya. Kami pun masak Tagliatelle*********, salah satu makanan favorit yang hampir disukai semua orang di tempat kerja kami.
Diam2 Janice merangkulku dari belakang dan membisikkan..
"I love you..."
aku segera menyibakkan tangannya, dan berbalik arah.
"Kamu gila ya......" dengan nada ketus aku mengucapkannya, tak tahu apa ada kata lain yang lebih bagus.
"Kebahagiaan orang yang dicintai adalah kebahagiaan orang yang mencintai" dengan tatapan matanya yang nanar ke arahku, Janice dengan geragapan mengucapkan kalimat itu.
Aku terdiam................................................
Tidak ada komentar:
Posting Komentar